Dewasa
Dewasa, satu kata yang sampai sekarang bikin gue bingung. Jadi anak paling kecil dalam keluarga kadang bikin suara dan pendapat gue gak dianggap sama orang yang lebih tua dari gue (dalam hal ini adalah bokap sama nyokap atau kakak-kakak gue). Di lain kesempatan, gak jarang nyokap suka bilang sama gue “kamu
Gue lebih setuju pendapat yang bilang kalo dewasa itu bukan dilihat dari berapa umur loe sekarang, tapi lebih ke sikap dan perilaku kita. Jadi inget cerita seorang teman (sebelumnya makasih ya Neng, dah mengizinkan gue menulis cerita loe), dan setelah denger ceritanya gue berpikir bahwa mereka sudah mencapai taraf dewasa. Bicara mengenai perasaan dengan kepala dingin, tanpa ada rasa sakit hati (karena ditolak). Pokoknya salut buat mereka.
Seorang teman pernah cerita tentang orang yang disukainya, tapi dia gak berani buat bicara jujur sama orang tersebut. Ternyata, orang yang ditaksir temen gue itu adalah temen gue juga! Oh My God! Dunia sempit amat ya? Jadilah gue “orang ketiga” di antara mereka. Gue tau cerita dari kedua belah pihak. Saking pinternya menyembunyikan perasaannya, gue bener-bener gak tau kalo dia lagi suka sama seseorang.
Sebagai cewek ada perasaan malu untuk mengungkapkan perasaan kita terlebih dahulu, makanya dia milih untuk jadi Secret Admirer. Sakitnya jadi Secret Admirer adalah loe gak bisa mengungkapkan perasaan loe sama orang yang loe tuju. Sementara orang yang loe maksud gak sadar dengan keberadaan perasaan loe. Jadi inget omongan temen gue yang lainnya, “Gimana orang lain mau tau perasaan loe, kalo perasaan itu gak pernah diomongin?”. Cerita demi cerita dari temen gue mengalir terus ke kuping gue, sementara orang yang dimaksud (temen gue juga) gak tau ada seseorang yang diam-diam jatuh hati sama dia. Betapa temen gue yang cewek ini naksir abis sama temen gue yang lainnya, tapi rasa malunya mengalahkan semuanya. Dipendamnya perasaan itu sampai sekarang, hingga suatu hari perasaan itu terungkapkan dengan jelasnya. Sialnya gue bisa dibilang pihak yang ikut bertanggungjawab atas semua kejadian itu. Temen gue yang cowok bisa menebak, bahwa temen gue yang cewek ternyata naksir dia.
Berhubung gue adalah orang ketiga di antara mereka, gue yang akhirnya jadi penghubung di antara mereka. Sayangnya perasaan ini tidak mendapat balasan, tapi bukan berarti gak bisa jadi temen
Mereka berdua akhirnya ngobrol tentang situasi yang ada, bahwa teman gue yang cowok itu gak bisa membalas perasaan temen gue yang cewek. Bahwa dia hanya bisa menawarkan pertemanan dan tidak lebih. Temen gue yang cewek bisa menerima kenyataan itu, karena baginya, menyukai seseorang adalah hak kita, tapi adalah hak orang lain juga untuk menolak. Sekarang keduanya masih berteman, gak ada rasa sakit hati karena penolakan. Mungkin di dasar lubuk hati yang paling dalam, pengharapan itu gue yakin masih ada, tapi untuk saat ini mereka lebih memilih untuk berteman. Tapi siapa yang bisa meramal masa depan? Bahwa suatu hari nanti semuanya akan berbeda? Entahlah…
Dari contoh kasus di atas, kita bisa lihat bahwa sikap dewasa diperlukan untuk menanggapi masalah yang sedang dihadapi. Sikap dewasa menerima penolakan, menerima pertemanan yang ditawarkan tanpa menuntut lebih. Sikap dewasa lainnya ditunjukkan dengan mau mendengarkan pengakuan dari orang lain, tidak menjauh setelah mendengarkan pengakuan tersebut, dan masih bisa berteman seperti biasanya. Keduanya saling menjaga perasaan masing-masing. Mengutip lagunya Celine Dion yang judulnya That’s the Way It Is yang bilang “Don't surrender 'cause you can win. In this thing called love” dan gue tau bahwa keduanya sebenarnya sedang mencari cinta dalam hidupnya, gue cuma bisa bilang i’m hoping the best for you both.
Label: friends