Pyo-pyo's blog

Cerita yang ingin aku bagi kepada dunia.

Senin, 22 Desember 2008

Super mom…

Waktu saya duduk di kelas 3 SD, pada saat ulangan pelajaran IPS, ada pertanyaan yang bunyinya “Kapan hari ibu diperingati?”. Saya langsung berpikir, ada dua tanggal yang ada di kepala saya saat itu. Tanggal 21 April dan 22 Desember. Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Mulai munculnya paham emansipasi di kalangan wanita Indonesia, walaupun masih dalam lingkup yang terbatas. Tanggal yang kedua adalah tanggal 22 Desember, pada tanggal itu kongres wanita Indonesia pertama dilakukan. Saat itu saya tidak tahu, kalau tanggal 22 Desember akhirnya diperingati sebagai hari ibu. Pikir punya pikir, dikarenakan saya harus menjawab soal tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk memilih jawaban tanggal 22 Desember sebagai hari ibu, dan jawaban saya benar. Hehehe…

Bicara soal hari ibu, buat saya seperti bicara tentang masa depan. Akan jadi ibu seperti apa saya kelak? Apa seorang ibu yang galak pada anaknya? Yang marah saat anaknya sulit disuruh untuk makan atau mengacak-acak isi rumah. Seorang ibu yang tidak perduli pada keluarganya? Tapi malah sibuk arisan dan acara sosial lainnya. Atau seorang ibu yang mau melakukan apa saja untuk keluarganya? Sama seperti yang ibu saya lakukan.

Lahir di keluarga yang sederhana dengan 8 orang anak, ibu saya adalah anak perempuan yang pertama. Nenek saya memiliki sebuah usaha hiburan keliling yang dikelola bersama dengan suaminya, sehingga dia terpaksa menitipkan anak-anaknya pada orang tuanya (nenek buyut saya, red). Sebagai anak tertua, ibu saya sudah memulai perannya sebagai seorang “ibu” sejak masih SMP untuk mengurus ketujuh orang adik-adiknya.

Orang tua saya menikah saat ibu saya berusia 21 tahun (saya jadi minder sendiri dengan usia saya sekarang), sementara ayah saya berusia 27 tahun. Setelah menikah mereka pindah ke Jakarta, dan tinggal di sebuah pemukiman padat penduduk di daerah Kuningan, Setia Budi. Ayah saya adalah seorang anggota Angkatan Laut, jadi sejak awal pernikahannya dia harus meninggalkan ibu saya sendirian untuk dinas.

Sebagai seorang istri tentara dengan pangkat yang masih rendah dan gajinya tidak mencukupi, dia harus berjuang membantu suaminya dengan ikut membiayai kebutuhan rumah tangga. Ibu saya sering bercerita, dulu, dia juga harus banting tulang mencari penghasilan tambahan. Dia berjualan es mambo, nasi uduk, menjadi penjahit, tukang kredit barang, dan lain sebagainya yang saya sendiri sudah lupa ceritanya. Keadaan kemudian sedikit membaik, ibu saya bilang, mereka kemudian bisa memiliki beberapa rumah kontrakan.

Setelah sepuluh tahun menikah, akhirnya mereka dikaruniai seorang anak (kakak perempuan saya yang nomor satu), tapi itu hanya berlangsung selama tiga tahun. Kakak perempuan saya yang pertama meninggal karena sakit. Itulah sebabnya ibu saya paling kesal jika mendengar sinetron yang menceritakan tentang anak yang dianiaya oleh orang tuanya ataupun berita tentang aborsi. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh ibu saya pada saat itu. Anak yang dinantikan selama 10 tahun pernikahannya meninggal di usia yang masih muda, tiga tahun. Setelah berobat kesana kemari, ibu saya akhirnya memiliki seorang anak lagi (kakak perempuan saya yang nomor dua), menyusul kemudian kakak perempuan saya yang nomor tiga, dan terakhir adalah saya.

Dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil ditambah dengan seorang anak laki-laki (kakak angkat saya), ibu saya berjuang merawat kami semua seorang diri. Seingat saya, keluarga kami tidak pernah memiliki seorang pembantu sekalipun. Jadi, disaat ayah saya harus dinas keluar kota, ibu saya sendirian mengurus keempat orang anak, masih ditambah dengan mengurus pekerjaan rumah dan pekerjaan sambilannya. Ibu sering cerita kalau kakak perempuan saya yang nomor satu termasuk anak yang nakal sejak kecil. Hobinya adalah membuat nangis orang lain, kalau tidak saudaranya ya teman-temannya, walaupun itu anak laki-laki.

Mungkin karena kerja kerasnya demi keluarga, sejak kecil saya tidak pernah merasa kekurangan. Apapun yang saya butuhkan selalu saya dapatkan dari orang tua saya. Satu hal yang membuat saya bangga sekali dengan ibu saya, masakannya paling enak sedunia. Gimana gak paling enak, lah wong selama selama 24 tahun saya hidup di dunia, saya paling sering makan makanan yang dimasak oleh ibu saya. Tapi sumpah deh…ibu saya paling pintar masak makanan rumahan. Hal lainnya yang saya kagumi dari ibu saya adalah sifat sabarnya yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah hanya dia yang bisa menangani kedua orang keponakan saya pada saat rewel. Pada saat mamanya (kakak perempuan saya yang nomor dua) tidak sanggup menangani keponakan-keponakan saya, biasanya dia akan menyerahkannya langsung ke ibu saya. Dan seperti biasanya, keponakan-keponakan saya akan langsung diam dan menurut.

Orang bilang, kebahagiaan orang tua akan terasa lengkap jika melihat anak-anaknya meraih sukses. Walaupun ukuran sukses itu relatif untuk masing-masing orang, tapi ibu saya sangat bangga saat berhasil mengantar ketiga anaknya menamatkan pendidikan hingga tingkat universitas. Ketiga anak perempuannya mampu menyelesaikan pendidikan di salah satu perguruan tinggi ternama, Universitas Indonesia (bagaimanapun nama UI masih dianggap hebat, setidaknya hingga sekarang). Kebanggaan dan kewajibannya sebagai seorang wanita dan seorang ibu rasanya terbayar sudah saat kami semua di wisuda. Pernah suatu hari dia melihat hasil skripsi saya, yang walaupun saya tau dia tidak mengerti mengenai skripsi yang saya buat, tapi dia mengaku terharu melihat sebaris tulisan di halaman depan skrispi saya.


Tulisannya berbunyi:
“Teruntuk Bapak dan Ibu tecinta, terima kasih untuk semuanya”.


Tulisan itu memang mencontoh tulisan kakak saya yang nomor satu, tapi tentu ditulis dengan bahasa saya sendiri. Atau ketika mengadakan selamatan dengan membuat nasi kuning pada saat kelulusan kakak saya yang nomor tiga, saya yakin tidak ada yang lebih bahagia, bahkan kami sendiri, melebihi kebahagiaan yang dirasakan oleh ibu saya.

Pernikahan orang tua saya sendiri sudah berlangsung selama 42 tahun, ibu saya pernah bilang “Bisa gak ya sampai ulang tahun pernikahan emas?”. Saya hanya bisa mengamini “Amin, Mi…”. Semoga apa yang diharapkan oleh ibu saya menjadi kenyataan.

Orang bijak bilang “God create every mom to represent Him in the world”, saya percaya sekali kalimat itu. Buat saya, ibu sudah seperti sahabat, apa yang saya rasakan dan pikirkan kadang bisa ditebak dengan mudah olehnya. Hari ini saya cuma mau bilang, “Thank you mom, for everything you’ve done for me. You’re the greatest mom in the world”

PS: untuk semua ibu yang berjuang demi keluarganya, di manapun kalian berada, SELAMAT HARI IBU…

Label:

4 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

Nah....kapan ari jadi ibu? 0_o

22 Desember 2008 pukul 12.51  
Blogger Rie mengatakan...

Nanti kalo udah nikah dan punya anak. Doain ya...

23 Desember 2008 pukul 12.25  
Anonymous Anonim mengatakan...

semoga ntar kalo loe jadi ibu bisa terinspirasi kek ibu loe ya ri....
ga mudah mengeluh dan ga mudah menyerah :D

16 Januari 2009 pukul 15.36  
Blogger Rie mengatakan...

Amin. Makasih doanya ya. hehehe. Btw, ini sapa ya?

19 Januari 2009 pukul 13.19  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda