Pyo-pyo's blog

Cerita yang ingin aku bagi kepada dunia.

Selasa, 09 Desember 2008

Cerita dari Yogyakarta, Part one

Sejak lahir hingga sekarang, saya tinggal di Jakarta, walaupun orang tua saya berasal dari Jogjakarta. Kalaupun saya pulang ke kampung, itu hanya pada waktu-waktu tertentu saja, biasanya seperti pada saat hari raya Idul Fitri atau pada saat liburan sekolah. Dua minggu belakangan saya bolak-balik Jakarta-Jogjakarta untuk sebuah urusan, dan baru kali ini saya benar-benar memerhatikan keadaan sekeliling saya (saya rasa ini disebabkan lantaran saya adalah lulusan antropologi yang sejak awal kuliah dibiasakan untuk memerhatikan kondisi di sekeliling saya).


Rumah nenek saya terletak di Dusun Bojong XI, Panjatan, Kulon Progo. Kira-kira satu jam perjalanan dari pusat kota Jogjakarta jika ditempuh dengan menggunakan kendaraan. Terus terang, kendaraan umum apa yang digunakan untuk bisa sampai ke rumah nenek, saya sama sekali tidak paham (mungkin jika ada kesempatan lagi saya akan coba mencari tahu lebih lanjut supaya tidak sering merepotkan orang lain). Jogja yang sekarang berbeda dengan Jogja yang pernah saya kunjungi terakhir kali. Sekarang, di kampung nenek saya, hampir semua rumah sudah terbuat dari bata dan semen, hanya tinggal sedikit saja yang masih menggunakan kayu ataupun anyaman bambu sebagai dinding rumah. Di pinggir jalan juga sudah mulai banyak terdapat kios penjual voucher pulsa handphone, yang artinya handphone sekarang sudah masuk desa.


Sepanjang perjalanan di kereta menuju Jogja, saya dibuat kagum dengan pemandangan yang ada. Allah itu Mahabesar, Dia bisa menciptakan bumi yang begitu indah seperti yang saya lihat saat itu. Saya paling suka melihat pemandangan sawah ketika pulang kampung. Pemandangan yang tidak bisa saya lihat di kota. Warna tanaman padi yang hijau kekuningan terkena cahaya matahari, petani-petani yang sedang mencangkul, membajak ataupun menanam padi di sawah memberikan kesan yang berbeda. Setelah turun di Stasiun Tugu, saya membonceng motor Om saya untuk sampai ke rumah nenek. Sepanjang perjalanan saya lagi-lagi dibuat kagum dengan pemandangan yang ada, banyak anak sekolah yang menggunakan sepeda Onthel untuk ke sekolah, petani yang menggunakan sepeda untuk mengangkut rumput, ataupun senyuman dan anggukan yang diberikan pada saya saat kami saling berpapasan, padahal kami sama sekali tidak saling kenal. Pernah suatu kali saat saya dan ibu saya pergi untuk sekedar melihat sawah, kami disapa dan ngobrol oleh seorang ibu yang sedang memotong rumput untuk makan sapinya. Ketika saya tanya pada ibu saya, “Itu tadi siapa Mi?”, “Gak tau, di desa itu ya begitu, biar gak kenal juga bisa saling ngobrol” jawab ibu saya. Kejadian itu membuat saya bertambah kagum dengan keadaan di desa ini, sifat sederhana mereka benar-benar luar biasa.


Ketika saya pulang kampung, Om dan Tante saya sedang melaksanakan ibadah haji. Berhubung Om dan Tante saya adalah guru, dan seorang guru memiliki posisi yang cukup dipandang di kampung itu, maka setiap malam Jumat diadakan pengajian yang tujuannya untuk mengirim doa bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji (dalam hal ini adalah Om dan Tante saya) oleh keluarga yang bersangkutan. Pada saat pengajian biasanya tuan rumah menyediakan minuman, makanan kecil dan nasi beserta lauk pauk untuk orang-orang yang hadir. Acara dilakukan dengan mengundang seorang Ustad untuk memulai pengajian. Selesai pengajian, tuan rumah akan mengeluarkan makanan untuk para tamu yang datang. Acara bisa berlangsung hingga dini hari, mungkin mereka juga ngobrol tentang banyak hal yang terjadi di sekitar mereka dan saya rasa ini adalah cara mereka untuk lebih mendekatkan diri dengan para tetangganya. Saya pernah bertanya pada Om saya yang lainnya, “Kenapa kalo pengajian itu harus malam Jumat sih, Om?”, “Kalau malam Jumat nilai ibadahnya lebih besar dari pada malam-malam yang lainnya” jawab Om saya. Jujur, selama ini saya belum pernah dengar hal tersebut. Mungkin juga karena ilmu agama saya yang memang belum seberapa, atau itu merupakan campuran antara ajaran agama Islam dan kepercayaan tradisional Jawa. “Katanya kalau malam Jumat, arwah-arwah itu biasanya minta dikirimi doa. Itu kata Pak Ustad” lanjut Om saya lagi. Tuh…kan berarti tebakan saya yang kedua benar, itu merupakan campuran antara ajaran Islam dan kepercayaan tradisional Jawa. Ngomong-ngomong soal itu, saya pernah membeli bunga untuk nyekar di makan kakek saya, di Pasar Beringharjo bersama ibu saya. Ketika pedagangnya menyebutkan harganya, ibu saya kaget. “Kok mahal banget Bu?” Tanya ibu saya pada si pedagang dalam bahasa Jawa, “Iya, ini kan malem Jumat Kliwon, dedemit biasanya minta dikasih kembang kalau malam Jumat Kliwon” Jawab si pedagang dalam bahasa Jawa juga. Jadi pada hari-hari tertentu permintaan pada kembang untuk nyekar naik, sementara penawaran tetap, alhasil harganya ikutan naik. Itu yang saya pelajari dari hukum ekonomi waktu sekolah. Saya cuma tersenyum mendengarnya, ternyata hukum supply dan demand berlaku juga di dunia dedemit. Hehehe.


Ngomong-ngomong soal kampung saya itu, saya pernah harus menempuh perjalanan sejauh 9 Km untuk mengambil uang di ATM. Mesin ATM paling jauh yang pernah saya datangi. Kalau sampai harus bolak-balik berkali-kali, rasanya stres juga.


Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan, hanya saja perubahan yang terjadi pada masyarakat di daerah pedesaan memang tidak secepat pada masyarakat di daerah perkotaan. Sebagai contoh, banyak warga yang mendapatkan kompor gas yang merupakan subsidi dari pemerintah, tapi tidak semua orang mau memakainya, bahkan ada sebagian yang menjualnya kembali. Mereka lebih memilih untuk menggunakan kayu bakar yang memang bisa dengan mudah mereka dapatkan. Hal ini juga dialami oleh kakak dari ayah (saya menyebutnya Mbok’ De singkatan dari Mbok, yang artinya ibu dan De’ yang artinya gede atau besar). Alasannya, mereka takut kompor itu meledak. Kurangnya sosialisasi terhadap penggunaan kompor gas ini membuat program yang sebenarnya punya tujuan baik ini rasanya jadi sia-sia. Hal lainnya yang saya lihat sangat mencolok adalah keadaan rumah tetangga yang ada di sebelah rumah nenek saya. Setahu saya, itu adalah rumah Mbah Sukilah, penghuninya hanya seorang nenek yang sudah tua, tidak ada listrik sebagai penerangan, dindingnya pun hanya anyaman bambu. Saya miris sekali melihat keadaannya, tapi ibu saya bilang memang dia yang menginginkan hal tersebut. Walaupun anaknya sudah pernah mengajaknya untuk tinggal di kota, tapi dia lebih memilih untuk kembali tinggal di tempat itu. Rasanya sangat kontras melihat keadaan kondisi rumahnya yang sangat sederhana, dengan rumah nenek saya yang segalanya serba ada.


Berarti benar kata orang, hidup ini adalah sebuah pilihan. Dia memilih untuk tinggal di tempat itu, karena mungkin itu yang bisa membuatnya bahagia. Pengalaman ini membuat saya berpikir, hal apa yang dapat membuat saya bahagia? Jogja seperti magnet bagi saya. Kalau ada kesempatan lagi, saya tidak keberatan untuk datang berkunjung. Siapa tahu saya malah bisa jadi salah satu warganya...

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda