Issue...
Sabtu kemarin, gue dateng ke kampus tercinta (UI) buat ambil nilai. Niatnya sih mau ngambil sama temen gue yang juga belom ngambil nilai, tapi dasar emang anak antrop yang punya kebiasaan jam karet sedunia plus rasa solidaritas yang tinggi buat saling tungu-tungguan, akhirnya SBA (Sub Bagian Akademik) FISIP UI malah dah tutup jam 12 siang dan kita cuma bisa melongo bengong. “Tutup? Bukannya jam 2 tutupnya?” Tanya gue sama salah satu petugas SBA, “Iya, soalnya kita mau kondangan”. Gue sama temen gue cuma melongo untuk kedua kalinya, “kondangan? Gak ada alasan yang lebih masuk akal dan manusiawi apa?” pikir gue dengan hati kesal. Jadilah kita berempat ngobrol ngalor ngidul gak jelas di kantin Sastra.
Topiknya macem-macem, mulai dari cewek barunya Maisa, rencana nikahnya Ita, kuliahnya Lusi yang bentar lagi kelar, kerjaan gue yang bikin gue senewen, sampe topik-topik gak penting lainnya. Sebenernya ada salah satu topik yang bikin gue sempet shock, soal homoseksual. Entah kenapa, dari dulu gue gak suka ngomongin soal topik yang satu itu, tapi cerita dari salah satu temen gue bener-bener bikin gue kaget.
Intinya, terlepas dari apakah itu normal atau enggak (jadi inget teori Kebudayaan Dominannya Ruth Benedict, yang bilang kalo sesuatu yang mayoritas selalu dianggap normal, sementara yang minoritas dianggap abnormal), dosa atau enggak (Please deh itu mah urusan dia sama Tuhan), mungkin yang dia inginkan hanyalah menjadi dirinya sendiri. Tau kalo dirinya berbeda aja mungkin sudah menyakitkan dia, apalagi ditambah dengan pandangan negatif dari orang lain. Negara kita bukan negara agama, tapi Pancasila, yang menghargai kehidupan setiap warganya. Bukannya salah satu contoh hak asasi adalah hak untuk hidup dengan tenang?
Label: Simple Life